Sabtu, 27 Oktober 2012

Bukan di Negeri Dongeng



“Aku seorang seniman,“ lelaki berambut gondrong itu berkata padaku. “Tapi tidak sepertimu, aku cuma seniman pinggiran,“ tambahnya lagi seraya menyebut namanya: Iwan, tinggal di Tanjung Priok.

Waktu itu, Desember 2000, hari senja di Taman Ismail Marzuki. Aku baru saja berkenalan dengan Iwan dan Ratri – adik perempuannya – di toko buku Joze Rizal Manua.

“Aku tidak percaya partai, Mbak,“ tiba-tiba Ratri berkata, pada pertemuan kami yang berikut, dua minggu kemudian, di tempat yang sama. “Apalagi pada tokoh2nya. Muak sekali melihat mereka,” tambahnya sinis.
“Ya, aku juga. Nggak ada yang benar. Partai yang besar kubenci, yang kecil bikin aku geli. Lihat
deh! Partai-partai gurem itu, kan, nggak jelas. Ada juga yang membawa agama untuk kepentingan partai, sekadar memanipulasi ayat Tuhan!“ Nada suara Iwan agak geram.
“Ya, tapi tak semua,” bantahku.
Sayang percakapan kami terhenti karena tiba-tiba hujan turun begitu deras.
Kami berpisah dua tahun lalu di TIM tanpa pernah bertukar alamat dan tak pernah bertemu lagi
setelah itu. Sampai, akhir November 2002, seseorg menyapaku di tempat yang sama: TIM.

“Assalamu‘alaykum, Mbak! Masih ingat saya? Saya Iwan, seniman pinggiran itu. Saya sudah
potong rambut. Apa Mbak masih mengenali saya?”
Sesaat aku mengernyitkan dahi. Sosok di depanku sangat rapi dan sopan. Tapi ia memang Iwan.
Dan topi yang di pakainya? Aku kembali mengerutkan dahi. Iwan memakai topi berlambang Partai Keadilan?
Ia membuka topinya dan tersipu. “Sekarang saya jadi aktivis PK Mbak. Masih kecil-kecilan“:
Aku tersenyum. Bagaimana bisa?
Segera kuajak Rita – teman yang sejak tadi bersamaku – dan Iwan makan siang bersama.
“Tahun lalu, banjir besar melanda Tanjung Priok. Teman-teman dari partai itu yang pertama dating ke lokasi. Mereka membantu kami bukan hanya pada hari itu, tapi berbulan-bulan kemudian masih memantau keadaan kami. Mereka melakukan semua tanpa pamrih, tanpa mengajak kami masuk partai mereka. Mereka juga membuka pos-pos pelayanan masyarakat secara gratis”. Kata-kata Iwan meluncur begitu cepat.
“Lalu?“
“Saya mulai ingin tahu tentang PK. Mereka memang unik. Saya berkali-kali mengadakan
demonstrasi dengan kelompok saya. Jumlahnya cuma seratusan, tapi pasti ricuh. Sementara saya
lihat setiap teman Partai Keadilan turun melakukan aksi di jalan, sampai ribuan orang, tak sedikit
pun ada keributan. Kelihatannya kok tenang, kok asyik”. Iwan menghirupnya air jeruknya.
Aku dan Rita berpandangan. Nyengir.

“Saya bertemu DR. Hidayat Nurwahid awal tahun ini. Wah dia memeluk saya. Padahal saya bukan apa-apa. Waktu itu, saya mengikuti ceramahnya di Al – Azhar. Saya salami dia. Eh, dia menjabat erat tangan saya, malah memeluk saya”, kenang Iwan haru. “waktu itu, Hidayat Nurwahid berkata pada banyak orang, termasuk saya: ’Bahkan seandainya Anda tidak masuk ke Partai Keadilan sekalipun, tapi anda mendukung, menegakkan dan melaksanakan keadilan, yang itu berarti Anda mengamalkan Islam, maka Anda sesungguhnya sudah menjadi bagian dari kami’. Saya terharu sekali , Mbak!”

Lagi-lagi aku dan Rita saling berpandangan. Itu perkataan yang memang sering diucapkankan
Presiden PK saat itu: DR. Hidayat Nurwahid.
Iwan masih ingin terus bercerita. Angin kencang Kafe Musi di area terbuka TIM tempat kami
duduk, menyentuh dan menggeser lembaran-lembaran Majalah Tempo edisi terbaru, November
2002, yang ada di pangkuanku. Tak sengaja, ekor mataku membaca tulisan itu sekali lagi:
“Indonesia Belum Menyerah!”

Dalam edisi tersebut terdapat “Figur Pahlawan Pilihan Pembaca”, sebuah polling yang melibatkan ratusan pembaca Tempo. Sholahudin Wahid, Hidayat Nurwahid, Abdullah Gymnastiar, Kwik Kian Gie, Susilo B. Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono dan Iwan Fals, adalah tujuh nama yang menjadi pilihan pembaca secara berurutan.

Iwan masih terus bercerita. Angin meliukkan jilbab putihku sesekali. Tiba-tiba aku teringat wajah teman-temanku yang tak henti memikirkan masalah umat itu....
Ah Indonesia tak akan menyerah, Wan! Tak akan pernah!

(ditulis oleh Helvy Tiana Rosa)
diambil dari buku "Bukan di Negeri Dongeng"

Buku ini menceritakan tentang pejuang-pejuang keadilan di negeri ini yang mempunyai sifat dan sikap yang terasa sangat mengesankan dan istimewa, jujur, adil , penuh cinta dan peduli atau mementingkan orang-orang disekitarnya, yang membuat kita terharu dan merasa belum berbuat apa-apa dalam berdakwah selama ini.

Banyak cerita yang terdapat di buku tersebut. Sebuah cerita yang tidak diangkat kepermukaan oleh awak media. entah apa alasannya, tetapi, walaupun kisah-kisah tentang pejuang keadilan tersebut tidak diangkat media, cerita-cerita mereka sangat cepat perkembangannya melalui dunia maya.

Sosok-sosok luar biasa yang diceritakan dalam buku ini bukan ada di negeri dongeng, bukan cerita fiktif, tapi ada di negeri kita. Ditulis lebih dari 25 orang, buku ini memaparkan kisah-kisah keseharian yang mencengangkan, dari para "Pejuang Keadilan"

Pernahkah kita bayangkan dalam kehidupan kita ada seorang ibu empat anak, pengidap kanker rahim yang sangat kekurangan secara ekonomi, tetapi selalu terdepan membantu mereka yang terkena musibah?
Bisakah kita bayangkan, ada seorang suami yang bertugas di DPR hanya mau mengambil gaji secukupnya dan selebihnya dikembalikan pada rakyat di sekitarnya dengan cara yang sederhana? Bagaimana segelintir pejabat yang jujur menyelamatkan ratusan milyar uang negara dalam rapat-rapat yang alot? Bagaimana perasaan anda, bila tiba-tiba ada seorang pejabat memilih tidur di sebuah rumah petak beralaskan tikar, hanya karena empatinya yang besar kepada masyarakat? Kenal wakil rakyat yang tak mempan suap, yang bertekad membela kebenaran dan keadilan meski setiap hari menerima ancaman pembunuhan? Pernah bertemu dengan seorang presiden partai yang setiap hari rutin menyapu dan membuang sampah untuk kenyamanan lingkungannya? Pernah kenal pimpinan yang ikut membantu istrinya belanja sayur? Atau ibu pejabat yang berebut berbuat kebajikan? Pernah berdoa ada lelaki tulus yang mau menghabiskan waktunya mendekati para 'sampah masyarakat' yang seabreg itu dan mengubah mereka menjadi berarti?

Lalu apakah Anda mengetahui, bahwa ada seorang anggota KPU yang ternyata harus 'berjuang' berkali-kali untuk sekedar mengembalikan kijang yang dipakainya selama bertugas? Ingin tahu kisah seorang dokter yang membangun sebuah klinik di desa pedalaman? Lalu kisah para penghuni sebuah pondok cinta yang terdiri dari mahasiswi, tunanetra, mbok bakul jamu dll yang saling peduli?

Bahkan apabila kita ingin mendapat gambaran bagaimana menyongsong kematian dengan indah dan hal penting lainnya, semua ada di buku yang sangat menyentuh ini.
Indonesia sangat membutuhkan mereka, mencintai mereka. Terima kasih pada Allah SWT yang telah membuat mereka ada dan nyata di tengah-tangah negeri ini.
Buku ini sangat menginspirasi. Semoga hidup kita pun dapat berarti seperti mereka. Harapan itu masih ada ikhwah! Umat menanti kerja nyatamu.

Malam pekat dan kelam, awan menggulung hitam
Menyelubungi pesona, negeri indah rupawan
Bilakah datang mentari, bangkitkan putra negeri
Cahayanya menyinari, hangat menghidupi
-Nasyid Lembayung, Izzatul Islam-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar