Jumat, 26 Oktober 2012

Si Alif Kecil

Melakukan perjalanan lagi, Mojoagung-Surabaya, dari rumah yang nyaman dan tenteram menuju Kota Surabaya yang semakin panas. Tapi ini bukan keluhan lho, karena saya memang menyukai perjalanan dan pergi ke tempat-tempat baru. Namun perjalanan kali ini terasa agak panjang, karena selama satu setengah jam saya tidak dapat tempat duduk. Kalau mau dihitung-hitung, sama lah seperti waktu berdiri saat upacara. Eh, tetapi note ini saya tulis bukan untuk melampiaskan kelelahan karena harus berdiri di bis, namun karena terinspirasi dari usaha menghilangkan penat dengan 'banyak melihat' di sepanjang perjalanan.

Pada setengah jam pertama, sebenarnya tidak ada yang menarik untuk diperhatikan. Kemungkinan ini karena rasa lelah belum datang, sehingga saya masih fokus untuk mencoba mencari posisi dan pegangan yang pas dan kuat agar merasa nyaman meski berdiri di bis, maklum saja karena bis penuh sesak dan bawa tiga tas. Terkait jumlah tas, saya juga heran kenapa saya suka sekali bawa banyak barang saat bepergian.. Saat itu saya juga teringat bahwa ada kereta api khusus perempuan di Jawa Barat, tapi saya lupa di mana tepatnya. Ah.. andai saja ada bis khusus perempuan juga, pasti jauh lebih nyaman.

Memasuki daerah Krian, rasa lelah datang, maka saya pun mulai mengalihkannya dengan 'melihat' sekeliling. Ada seorang anak laki-laki, mungkin sekitar umur 20 an, sepertinya masih lebih muda dari saya, yang membawa kardus yang terlihat berisi makanan dari rumah. Selain itu juga ia membawa tas ransel dan kardus yang lebih kecil lagi. Mungkin ibunya yang mempersiapkan makanan-makanan itu :). Lalu dari jendela juga terlihat beberapa pengendara motor yang istirahat sejenak di warung pinggir jalan. Barang bawaan mereka bahkan ada yang mencapai tiga tas, padahal naik motor dan dibawa sendiri. Wah.. semua orang kembali bekerja, kembali bermimpi dan kembali berjuang.



Begitu juga dengan seorang gadis kecil yang ada di lampu merah itu. Saat itu sudah jam 18.30. Ia si Alif Kecil, begitulah sebutan untuk anak jalanan pada salah satu lagu Snada. Si Alif Kecil itu memakai jilbab, celana panjang dan atasan yang ditutupi jaket lengan panjang. Sebenarnya itu yang menarik perhatian saya. Dia tidak sedang meminta, tetapi berjualan makanan ringan. Usianya tidak jauh dengan adik perempuanku yang paling kecil, sekitar 10 tahunan. Karena berdiri di bis, maka saya bisa memperhatikan ia dengan jelas melalui jendela. Tentu saja ia tidak menghampiri bis besar ini, karena ia terlihat hanya menjajakan makanan di pinggir jalan saja, saat lampu merah, ke pengendara motor dan mobil yang dapat ia jangkau. Lalu.. dalam beberapa saat dapat ku tangkap wajah itu, dan mataku langsung berkaca-kaca. Wajahnya yang polos, ia menawarkan tanpa memaksa, langsung pergi saat orang yang ditawarinya menolaknya. Masya Allah, sungguh saat itu aku ingin tahu apa yang sedang ia fikirkan sekarang. Orang tuanya yang sudah tua kah? Makanan yang bisa ia bawa pulang kah? atau sekolahnya? Itu pun kalau ia masih sekolah.

Ada dua Alif Kecil yang menarik perhatianku. Gadis kecil itu, lalu seorang anak laki-laki kecil yang usianya sekitar 12-13 tahun. Alif Kecil yang kedua ku temui di terminal Bungurasih. Kerjanya menanyakan penumpang ke mana tujuan mereka lalu mengantarkan penumpang itu ke bis yang sesuai. Wajahnya bersih, sepertinya bajunya baru, baju yang bertuliskan salah satu produk minyak angin, tapi agak kebesaran untuknya. Awalnya karena gayanya yang 'sok membantu' membawakan tas namun tubuhnya kecil, aku cuma senyum-senyum kecil saja. Tapi lagi-lagi, ya Allah, dia terlihat sangat bersungguh-sungguh dan sopan sekali. Barakallah adik kecil, jaga mereka Ya Allah. Setelah membantuku, ia langsung hilang dengan cepat. Mencari penumpang lagi. Berjuang lagi.

Ya Allah, adik-adik sayang, semoga Allah menunjukkan jalan cahayaNya padamu ya. Ketulusan hatimu untuk membantu orang tua mungkin menjadikanmu lebih kaya dan disayang Allah dibandingkan kami yang terkadang kurang bersyukur dan tidak bisa berkorban dan berjuang sejauh itu untuk orang tua kami. Tetap berjuang ya Dik. Allah menyayangi kalian, sangat menyayangi kalian.


Meski saya juga setuju dengan salah satu tayangan di televisi mengenai bagaimana cara yang terbaik untuk 'membantu' anak jalanan. Di tayangan itu disimpulkan bahwa cara terbaik adalah bukan memberikan uang kepada mereka yang meminta-minta di jalanan. Akan tetapi dengan menyalurkan dana kita kepada komunitas yang bergerak di bidang pembinaan dan pemberdayaan anak jalanan. Ya, saya setuju. Namun kita juga bisa mengenali 'Alif Kecil' di antara mereka, yang sorotan matanya menampakkan kesungguhan, membuat kita bersyukur kembali kepada Allah dan membuat hati kita semakin lembut. Saya rasa terkadang kita perlu 'mencari mereka' dan berbagi kebahagiaan dengan mereka. Atau paling tidak, meski belum bisa membantu, timbul rasa kepedulian dan kemanusiaan dalam diri kita, agar tak ada tinggi hati itu, agar kita dapat tersenyum ramah saat bertemu mereka atau sekedar menepuk bahu mereka. Ya, merekalah si Alif Kecil, anak-anak yang bebannya melampaui usianya.

Pengalaman di perjalanan ini semakin membuatku rindu pada sosok pemimpin-pemimpin shalih. Dulu kita tahu bahwa Umar bin Khathab saat menjadi Khalifah sampai memastikan sendiri dengan berkeliling apakah semua umatnya tercukupi sehingga tidak ada yang terdzolimi di bawah kepemimpinannya. Hal itu beliau lakukan karena takut ada yang akan menuntutnya di akhirat nanti. Ya Allah, andai para pemimpin negeri kami sadar betul bahwa semua kepemimpinan mereka akan dipertanggungjawabkan dengan seadil-adilnya di akhirat nanti, maka pasti sudah banyak pemimpin-pemimpin yang juga 'turun ke bawah' seperti Umar, memastikan para Alif Kecil itu mendapatkan hak-haknya. Karena begitu beratnya amanah menjadi pemimpin, maka kita semua tahu bahwa pemimpin yang adil do'anya makbul berkali-kali lipat. Hal ini bisa jadi karena seorang pemimpin memegang baik-buruk kehidupan orang-orang yang dipimpinnya.
Seperti dalam novel Burlian karya Tere Liye, "Satu kata YA untuk misalnya program segelas susu gratis bagi anak-anak di seluruh pelosok negeri, maka itu bisa berharga seribu tangga-tangga ke langit. Tetapi sebaliknya, satu kata YA untuk katakanlah program SDSB (judi nasional yang dilegalkan saat pemerintahan Orde Baru), maka itu segera memangkas berjuta pal jaraknya dia dari panasnya api neraka Jahannam. Panasnya sudah terasa dekat sekali meski ia belum mati."

Mengutip kembali status fb dari penulis buku Hafalan Shalat Delisa tersebut, "Jika kita masih muda, punya banyak waktu, punya kelapangan, maka terlibatlah mengurus sekitar. Apa saja. Ikutan ngajar TPA, ikut buat perpustakaan, ikut memberi kursus gratis adik-adik, bibi, mbak-mbak yang kerja di sekitar, membagikan sepatu bekas, baju-baju bekas, bahkan ikutan ngurus posyandu. Dalam skala lebih besar, ikutan program mengajar ke pelosok-pelosok misalnya, bakti sosial, ekspedisi sosial, ikutan program kegiatan sosial atau ikut menyebarkan pemahaman baik dan ide-ide kebaikan. Maka jika kita melakukannya dengan tulus, Allah akan membalasnya dengan kebahagiaan yang tidak bisa dibeli. Bisa berupa terbukanya pintu-pintu silaturrahim, rejeki, kemudahan di segala urusan, kematangan pribadi, dll.
Semoga note ini kembali menggugah kepedulian kita kepada sesama, semangat kita untuk berbagi dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya, semampu kita, untuk orang lain. Dan bagi yang sudah terlibat dengan agenda-agenda kebaikan ini semoga tetap rendah hati, agar nilai amal kita bernilai jauh lebih besar di mata Allah dibanding usaha manusia kita yang tidak seberapa.

Wallahu 'alam bi showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar