Sabtu, 27 Oktober 2012

Siapa Pilih yang Mana

(Copas Kultwit Ustadz Mudzoffar Jufri IKADI JATIM)

Siapa pilih yg mana dari 2 madzhab ini:
1.Aku menikahinya karena mencintainya? atau
2.Aku mencintainya karena telah menikahinya? (Tweet&status tgl.12 Maret 2012)

Jadi siapa pilih yg mana:
1. Menikahi cinta? Yg ini hanya nikah kalo udah cinta. Atau
2. Mencintai nikah? Yg ini yakin dalam nikah ada cinta (Tweet&status tgl. 13 Maret 2012)

Terima kasih atas semua respon dan komen khususnya dari teman2 fb terhadap ”polling”: Siapa pilih yg mana?
Sebagian meminta tanggapan balik saya, juga jawaban saya sendiri: milih yg mana? Untuk itu terbitlah kultwit ini.

Tentu saya pilih yg ke-2:

Mencintainya karena telah menikahinya. Karena memang itulah madzhab sekaligus fakta saya. Sejak sebelum nikah, bila ditanya: cinta siapa, saya jawab: cinta yg jadi istri saya. Tapi siapa dia? Ya, siapa saja! Maka dulu sempat hampir mencintai seseorang, tapi harus diurungkan, karena ternyata urung berjodoh, oleh suatu sikon. Akhirnya cintapun, sesuai madzhab, sengaja dilabuhkan kepada yg berhak, ibu-nya anak2, ”akibat” dijodohkan, dan berkah.

Saya tidak anti pati atau mengharamkan yg cinta dulu sebelum nikah. Karena rasa cinta-nya sendiri tidaklah haram.

Yg berpotensi haram, adalah bagaimana proses tumbuhnya cinta itu, dan apa yg terjadi serta dilakukan dengannya.

Tapi ketika cinta sudah dijadikan syarat nikah, seperti madzhab jumhur generasi sekarang, ini yg saya tidak terima. Begitu pula saat cinta telah didaulat menjadi pondasi dan pilar utama bangunan rumah tangga, menggeser agama & akhlak. Pengagungan sedemikian berlebihan terhadap sebuah perasaan, yg bernama cinta, benar2 tidak bisa didiamkan. Padahal semua tahu bahwa, hal paling labil dalam diri manusia, adalah perasaan, wabilkhusus rasa cinta beda jenis ini.

Dari sudut syariah, bagaimana syarat cinta pra nikah ini bisa dipenuhi secara aman, syar’i dan tidak melanggar? Ada 2 opsi. Pertama, cinta itu ada begitu saja secara tiba2 dan tanpa disengaja. Mungkin namanya cinta dadakan. Kedua, cinta itu disengaja, dicari bahkan dikejar. Dan ini yg umum terjadi. Mari jujur merenungi keduanya.

Untuk opsi 1, sangat tidak logis hal kebetulan dijadikan standar. Andai bisapun, juga betapa rapuhnya pondasi seperti itu. Sedang untuk opsi 2, gara2 kejar-mengejar cinta pra nikah inilah, moral yg jadi pilar utama bangsa dipertaruhkan. Awalnya pada berdalih mencari cinta demi nikah. Tapi kini, umumnya judul cinta tak lagi terkait sama sekali dg pernikahan.

Lalu, akibat legalisasi pacaran demi cinta semu, moralitas generasipun berada di ambang kehancuran sempurna. Dan maaf, saya kira penganut madzhab pensyaratan cinta sebelum nikah turut bertanggung jawab atas kondisi ini. Ditambah lagi, tak sedikit korban pemberlakuan madzhab cinta pra nikah, yg tak habis2 rasa kasihan saya terhadapnya. Seseorang sampai ”rela” menyiksa diri demi satu sosok saja yg dicinta, akunya. Padahal pilihan tak terbilang jumlahnya. Terus terang, dan maaf, saya hanya paham, ini sebuah kekerdilan sikap sekaligus kenaifan pilihan jalan hidup.

Selanjutnya banyak yg ragu, bagaimana kebahagiaan dan kelanggengan hidup berumah tangga bisa digapai tanpa cinta pra nikah? Namun fakta sejarah berjuta-juta pasangan langgeng nan bahagia sebelum era pacaran, memupus segala keraguan. Ditambah realita tak terhitung pasangan masa kini yg bahagia dan langgeng dalam pernikahan mereka tanpa pacaran. Jika mereka semuanya bisa, mengapa banyak generasi jaman ini tetap bersikukuh tidak bisa dan tidak mungkin? Inti masalahnya, tiada lain, memang pada telah teracuninya otak, pikiran dan persepsi. Ini yg harus dipulihkan kembali.

Maka jika ada yg menolak dijodohkan dg dalih tidak bisa nikah tanpa cinta, juga semata gara2 masalah ”keracunan” ini, Termasuk yg telah berjodoh, tapi mengaku tidak bisa mencintai pasangannya. Padahal bisa punya anak sampai 5 bahkan lebih, Yg lain kadhung jatuh cinta katanya, namun tidak berjodoh, dan mengaku tidak bisa lepas dari cinta tak sampai-nya itu......

Nah, untuk semua yg serba ”tidak bisa” itu, hakekatnya bukanlah benar2 ”tidak bisa”, melainkan hanya gara2 ”tidak mau”. Karena terbukti yg mau ternyata bisa. Bisa mencintai pasangan yg dijodohkan. Bisa pula melepas cinta yg tak berjodoh.

Sebagai penutup, banyak yg bilang, cinta ’kan tak bisa dipaksakan? Benar, tapi cinta bisa diwajibkan! Dan itu lebih berkah.

Akhirnya, maaf teman2, bila ada yg tak berkenan. Ini atas rasa tanggung jawab agama, moral, sosial dan bangsa. Wassalam.

-Semoga bermanfaat, selamat memilih dan bermujahadah :) -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar